Translate this Article...
Dampak dari krisis kapitalisme yang berkepanjangan ini telah berakibat paling buruk pada moralitas dan kebudayaan. Di mana-mana, gejala disintegrasi sosial nampak mencolok mata.
Keluarga borjuis berpecahan di mana-mana, tapi, karena tidak ada yang dapat menggantikannya, hal ini kemudian malah membawa satu mimpi buruk kemiskinan dan penghinaan bagi berjuta keluarga yang membutuhkan.
Kota-kota Amerika Serikat dan Eropa yang sedang membusuk, dengan kantung-kantung pengangguran dan kehinaannya, adalah satu ladang pembibitan untuk penyalahgunaan obat, kejahatan dan segala macam mimpi buruk lainnya.
Dalam masyarakat kapitalis, orang dianggap sebagai komoditi yang dapat dibuang sesudah tidak dibutuhkan lagi. Barang yang tidak dapat dijual dibiarkan di gudang sampai membusuk. Mengapa manusia harus diperlakukan berbeda? Cuma, halnya tidak demikian sederhana dengan manusia. Mereka tidak dapat dibiarkan kelaparan dan meninggal dalam jumlah besar, karena penguasa takut akan konsekuensi sosialnya.
Jadi, dalam kontradiksi puncak kapitalisme, kaum borjuis diharuskan untuk memberi makan para pengangguran, bukannya diberi makan oleh mereka. Satu keadaan yang benar-benar gila, di mana laki-laki dan perempuan ingin bekerja, untuk menambah kekayaan masyarakat, dan dihalangi untuk itu oleh "hukum-hukum pasar".
Ini adalah masyarakat yang sangat tidak berperikemanusiaan, di mana manusia dianggap lebih rendah daripada benda. Apakah mengherankan bahwa beberapa di antara orang-orang ini berlaku seperti bukan manusia? Tiap hari koran-koran tabloid dipenuhi dengan cerita-cerita horor tentang pelecehan yang mengerikan yang dilakukan terhadap mereka yang paling lemah, seksi masyarakat yang paling tak berdaya - wanita, anak-anak, orang-orang tua.
Inilah barometer paling akurat untuk mengukur keadaan moral masyarakat. Hukum kadangkala menghukum pelanggaran-pelanggaran ini, sekalipun secara umum kejahatan terhadap pemilikan (besar) diselidiki secara lebih bersemangat oleh polisi ketimbang kejahatan terhadap orang. Tapi, dalam semua kasus, akar sosial mendasar dari kejahatan selalu berada di luar jangkauan pengadilan dan kepolisian. Pengangguran merupakan induk dari segala jenis pengangguran. Tapi, masih ada faktor-faktor lain yang lebih halus dan tak kasat mata.
Orang yang tidak memiliki kemungkinan untuk mendapatkan sebuah pekerjaanpun dipaksa berhadapan dengan sebuah pertunjukkan "masyarakat konsumerisme", di mana pencarian dan pembelanjaan uang disajikan sebagai satu-satunya aktivitas yang layak dikerjakan. Orang-orang yang dijadikan teladan dalam masyarakat ini adalah orang-orang yang gemar menyingkirkan sesamanya, orang-orang yang kaya dengan cepat, yang siap menghalalkan segala cara untuk "maju".
Inilah wajah sejati dari "kebebasan berusaha", dari reaksi kaum monetaris - inilah wajah dari seorang petualang yang tak punya prinsip, seorang licik dan penipu, seorang yang picik dan dungu, seorang tukang pukul yang memakai jas mahal, personifikasi dari kerakusan dan pengagulan diri. Inilah orang-orang yang bertepuk tangan melihat penutupan sekolah dan rumah sakit, pemotongan dana pensiun dan lain-lain pengeluaran "yang tidak mendatangkan keuntungan", sementara mereka menumpuk harga dengan mengangkat telepon, bahkan tanpa menghasilkan sesuatupun untuk kesejahteraan seluruh masyarakat.
Ini semua adalah titik impas kapitalisme yang mengancam mendorong kebudayaan manusia kembali pada tingkat kekanak-kanakan, dalam maknanya yang terburuk - seperti seorang uzur kembali ke mentalitas anak kecil. Sebuah masyarakat yang terbelah dan mementingkan diri sendiri tanpa visi, tanpa moralitas, tanpa filsafat, tanpa jiwa, sebuah masyarakat "tanpa gigi, tanpa mata, tanpa perasaan dan tanpa apa-apa"
.
#Kritikan Kaum Sosialis