Translate this Article...
Pandangan Filsafat Cina tentang Kesatuan Manusia dan Alam
Filsafat China atau Sinism –meminjam istilah yang diperkenalkan oleh ahli Sinologi H. G. Creel—lazim digunakan untuk menspesifikasi atau meng-identifikasi sekelompok karakteristika unik bangsa China. Fenomena tentang Sinism ini tidak dibatasi pada satu daerah geografis RRC. Akan tetapi, lebih luas meliputi geografis Korea dan Jepang dimana logogram China digunakan. Bahasa logogram merupakan bentuk dan ungkapan alam pikiran Sinitic, wawasan yang lebih bercorak dunia-sini secara manifes, praktis, konkret, dan khusus ketimbang dunia-sana, spekulatif, abstrak dan umum. Alam pikiran Sinitic termanifestasi pada Konfusianisme, Taoisme dan Zen Buddhisme.
Apa karakter dari kesatuan manusia dan alam yang berakar dalam Sinism? Yaitu pengenalan moral dan peneguhan oleh setiap orang tentang keberadaannya dengan orang lain –bukan hanya hidup dan mati tetapi juga sebelum dilahirkan—dan dengan makhluk hidup dan tak hidup lainnya. Itu berarti hubungan timbal-balik mutlak, yang tidak perlu dipertanyakan, tidak dikualifikasikan dan ikatan khusus dari koeksistensi makhluk hidup dan benda, piety adalah sebuah kebajikan moral.
Menggunakan bahasa Martin Bubber (1928) sebagai pengajar penting dari Tao –khususnya wu wei—sebagai spiritualitas kehidupan China yang akan menyeimbangkan etos utilitarian Barat (Martin Bubber, , ini merupakan hubungan “Aku-Engkau” ketimbang “Aku-Itu” dimana Aku dalam “Aku-Engkau” berbeda secara radikal dari Aku dalam “Aku-Itu”, karena itu Aku selalu dan niscaya dibentuk oleh kondisi eksistensial yang Lain sebagai pihak lain.
Berdasarkan perspektif Sinism, ecopiety merupakan tenunan moral dari laki-laki dan perempuan yang menganyam bersama seluruh makhluk dan benda. Ini tersusun dari karakter yang dari humanisme dan karakter yin dari environmentalisme yang bersifat komplementer. Ringkasnya: sebagaimana Sinism merupakan kesatuan dari Konfusianisme yang ortodoks dan Taoisme yang heterodoks yang bersifat komplementer, maka ecopiety sebagai kesatuan dari humanisme dan environmentalisme juga bersifat komplementer. Dengan demikian:
- Ecopiety = Humanisme + Environmentalisme
- Sinism = Konfusianisme+Taoisme
Sinism mendefinisikan realitas sebagai proses sosial. Lalu apa tujuan akhir dari realitas sebagai proses sosial atau ecopiety sebagai hubungan timbal-balik mutlak? Tujuan akhirnya adalah harmoni yang tidak pernah statis tetapi selalu dinamis. Seperti dicontohkan pada musik atau alunan musik, harmoni dapat didefinisikan sebagai orkestrasi dari banyaknya perbedaan (Hwa Yol Jung, 1981: 329-340).
Ini merupakan perkumpulan dari beberapa hal sebagai satu kesatuan. Bagi Sinism, ada satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara etika dan estetika: baik dan indah bersinonim. Sebagaimana estetika merupakan harmoni dinamis antara manusia dan alam, demikian halnya baik hubungan harmonis antara sesama manusia: bukan hanya etika berdasarkan estetika, tetapi juga harmoni merupakan tema yang menyatukan etika dan estetika. Oleh karena itu, harmoni menjadi principium bukan hanya estetika tetapi juga antar manusia.
Harmoni terdiri dari 3 unsur dasar. Pertama adalah ide bahwa dunia atau alam semesta adalah pluralistik. Kedua, seluruh unsur dari dunia ini pluralistik yang berinterrelasi atau sinkronistik. Dengan demikian, harmoni mengacu pada pengertian diferensiasi, perbedaan ontologis, dengan logika yang berfungsi adalah sebagai logika korelasi, bukan logika identitas.
Dikatakan bahwa harmoni adalah kesatuan dari berbagai perbedaan, kemajemukan, dimana setiap unsur yang dilengkapi oleh setiap unsur yin. Harmoni merupakan predikasi atas perbedaan radikal dari pihak Lain, baik orang maupun barang. Dengan demikian ecopiety dikatakan sebagai kesatuan dari humanisme (yang) dan environmentalisme (yin) yang saling melengkapi. Rangkuman: Sinism menyumbang pada dua pilar ide bahwa :
- dimana tidak terdapat proses sosial, maka tidak ada realitas
- dimana tidak ada perbedaan, maka tidak ada proses sosial asli.
.
.