Translate this Article...
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen).
Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.
Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :
Pidana pokok :
- pidana mati
- pidana penjara
- pidana kurungan
- pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
Pidana tambahan :
- pencabutan hak-hak tertentu
- perampasan barang-barang tertentu
- dimumkannya keputusan hakim
Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.
Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.
Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast).
Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu.
Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana.
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk problem dalam materi baru ini”.
Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi.