Translate this Article...
Theravada (Pāli: थेरवाद theravāda; Sanskerta: स्थविरवाद sthaviravāda); secara harafiah berarti, "Ajaran Sesepuh" atau "Pengajaran Dahulu", merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan.
Ditemukan di India. Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Buddha pada awalnya, dan selama berabad-abad menjadi kepercayaan yang berkuasa di Sri Lanka (sekitar 70% dari penduduk ) dan sebagian besar benua di Asia Tenggara (Kambodia), (Laos), (Myanmar), (Thailand).
Ditemukan di India. Theravada merupakan ajaran yang konservatif, dan secara menyeluruh merupakan ajaran terdekat dengan Agama Buddha pada awalnya, dan selama berabad-abad menjadi kepercayaan yang berkuasa di Sri Lanka (sekitar 70% dari penduduk ) dan sebagian besar benua di Asia Tenggara (Kambodia), (Laos), (Myanmar), (Thailand).
Mazhab Theravada juga dijalankan oleh sebagian minoritas dari Barat Daya Cina oleh etnik Shan dan Tai), Vietnam (oleh Khmer Krom), Bangladesh (oleh etnik group dari Barua, Chakma, dan Magh), Malaysia dan Indonesia, dan yang belakangan ini mendapatkan lebih banyak popularitas di Singapura dan Negara Barat. Sekarang ini, mazhab Theravada dari Agama Buddha mencapai lebih dari 100 juta pengikut di seluruh dunia, dan dalam dekade terakhir ini mazhab Theravada telah menanamkan akarnya di Negara Barat dan di India.
Garis besar empat kebenaran mulia adalah sebagai berikut:
- Dukkha; Duka atau Penderitaan
- Dukkha Samudaya; Sebab Penderitaan
- Dukkha Nirodha; Berakhirnya Penderitaan
- Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara Menghentikan Penderitaan
Ketidak-kekalan adalah satu dari Tiga Corak Kehidupan. Istilah ini menggambarkan pendapat Agama Buddha bahwa segala hal atau gejala yang berkondisi (materi atau pengalaman) adalah tidak tetap, senantiasa berubah dan tidak kekal. Segala sesuatu yang kita alami melalui indera kita terbentuk dari bagian-bagian, yang keberadaannya terbentuk dari kondisi-kondisi luar. Segala sesuatu berubah senantiasa, demikian juga dengan kondisi dan hal itu sendiri berubah tanpa henti. Segala hal berubah menjadi sesuatu, dan berhenti. Tidak ada yang abadi.
Derita, walaupun dukkha seringkali diterjemahkan sebagai "penderitaan", arti filosofisnya lebih menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po), [4] yang dapat memberikan kesan akan pandangan Buddhis yang kurang yakin, tetapi Agama Buddha bukanlah mengenai keyakinan atau ketidak-yakinan, tetapi kenyataan. Dengan demikian, banyak dari naskah atau tulisan-tulisan Agama Buddha, kata Dukkha dibiarkan demikian adanya, tanpa pemberian arti, guna memberikan arti yang lebih luas.
Tanpa Inti; dalam filosofi India, pengertian akan diri disebut ātman (yang lebih mengarah kepada, "Jiwa" atau diri-metafisik), yang merujuk pada keadaan yang tidak berubah, bersifat tetap lewat pemahaman akan keberadaan. Agama Buddha tidak menerima pemahaman akan ātman, pada penekanan ketidak kekalan, tetapi kemampuan untuk berubah. Oleh karena itu, seluruh pemahaman akan diri secara keseluruhan adalah tidak benar dan terbentuk di alam ketidak-tahuan.
Derita, walaupun dukkha seringkali diterjemahkan sebagai "penderitaan", arti filosofisnya lebih menyerupai "kegelisahan", selayaknya berada dalam keadaan terganggu. Dengan demikian, "penderitaan" merupakan artian yang terlalu sempit untuk "konotasi emosional yang negatif" (Jeffrey Po), [4] yang dapat memberikan kesan akan pandangan Buddhis yang kurang yakin, tetapi Agama Buddha bukanlah mengenai keyakinan atau ketidak-yakinan, tetapi kenyataan. Dengan demikian, banyak dari naskah atau tulisan-tulisan Agama Buddha, kata Dukkha dibiarkan demikian adanya, tanpa pemberian arti, guna memberikan arti yang lebih luas.
Tanpa Inti; dalam filosofi India, pengertian akan diri disebut ātman (yang lebih mengarah kepada, "Jiwa" atau diri-metafisik), yang merujuk pada keadaan yang tidak berubah, bersifat tetap lewat pemahaman akan keberadaan. Agama Buddha tidak menerima pemahaman akan ātman, pada penekanan ketidak kekalan, tetapi kemampuan untuk berubah. Oleh karena itu, seluruh pemahaman akan diri secara keseluruhan adalah tidak benar dan terbentuk di alam ketidak-tahuan.
Jalan utama berunsur delapan
- Kebijaksanaan (Pali:Pañña ; Sanskerta:prajñā)
- Pengertian Benar (sammä-ditthi)
- Pikiran Benar (sammä-sankappa)
- Kemoralan (Pali: Sīla)
- Ucapan Benar (sammä-väcä)
- Perbuatan Benar (sammä-kammanta)
- Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
- Konsentrasi (Pali: Samädhi)
- Daya-upaya Benar (sammä-väyäma)
- Perhatian Benar (sammä-sati)
- Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Empat Tingkat Pencerahan
- Pemasuk Arus - Mereka yang telah mematahkan ketiga belenggu (Pandangan salah tentang Aku, Keraguan, kemelekatan terhadap peraturan dan ritual) tidak akan terlahirkan kembali ke dalam keadaan atau kelahiran (sebagai binatan, preta, atau di neraka). Ia hanya dapat dilharikan sebagai manusia atau di surga. Mereka paling tidak akan dilahirkan sebanyak tujuh kali sebelum mencapai pencerahan.
- Kembali Sekali - Mereka yang telah melenyapkan ketiga belenggu utama dan melemahkan belenggu akan nafsu indria dan dendam atau dengki, akan kembali ke alam manusia satu kali lagi sebelum mencapai Nirwana dalam kehidupan tersebut.
- Tidak Kembali - Mereka yang telah melenyapkan kelima belenggu, yang mengikat mahluk hidup pada alam perasaan. Seorang "Tidak-Kembali" (Anagami) tidak akan kembali kedalam alam manusia setelah meninggal dunia, mereka akan terlahirkan kembali di alam yang lebih tinggi guna mencapai Nirwana.
- Arahat - Mereka yang telah mencapai Pencerahan, mengalami Nirwana, dan telah mencapai keadaaan akan tanpa kematian, terbebas dari segala bentuk kekotoran batin yang tersisa. Kebodohan, kegemaran dan keterikatan mereka tidak ada lagi. Mencapai tinkat Arahat digambarkan pada naskah terdahulu sebagai tujuan kehidupan biara.
.