Translate this Article...
Tingkat inflasi
Inflasi merupakan suatu indikator ekonomi makro yang menggambarkan kenaikan harga-harga barang dan jasa dalam suatu periode tertentu. Bagi sebuah negara, keadaan perekonomian yang baik umumnya diwakili dengan tingkat inflasi yang relatif rendah dan terkendali.
Penggunaan tingkat inflasi sebagai salah satu indikator fundamental ekonomi adalah untuk mencerminkan tingkat PDB dan PNB ke dalam nilai yang sebenarnya. Nilai PDB dan PNB riil merupakan indikator yang sangat penting bagi seorang investor dalam membandingkan peluang dan resiko investasinya di mancanegara.
Indikator-indikator inflasi yang biasanya digunakan oleh para investor antar lain:
- Indeks harga produksi atau Producer Price Index (PPI) adalah indeks yang mengukur rata-rata perubahan harga yang diterima oleh produsen domestik untuk setiap output yang dihasilkan dalam setiap tingkat proses produksi. Data PPI dikumpulkan dari berbagai sektor ekonomi terutama dari sektor manufaktur, pertambangan, dan pertanian.
- Indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) adalah digunakan untuk mengukur rata-rata perubahan harga eceran dari sekelompok barang dan jasa tertentu. Index CPI dan PPI digunakan oleh seorang Trader sebagai indikator untuk mengukur tingkat inflasi yang terjadi.
- Neraca pembayaran atau balance of payment adalah suatu neraca yang terdiri dari keseluruhan aktivitas transaksi perekonomian internasional suatu negara, baik yang bersifat komersial maupun finansial, dengan negara lain pada suatu periode tertentu. Neraca pembayaran ini mencerminkan seluruh transaksi antara penduduk, pemerintah, dan pengusaha dalam negeri dan pihak luar negeri, seperti transaksi ekspor dan impor, investasi portofolio, transaksi antar Bank Sentral, dan lain-lain.
Dengan adanya neraca pembayaran ini kita mengetahui kapan suatu negara mengalami surplus maupun defisit. Secara garis besar Balance of Payment dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
- Neraca Perdagangan yang merupakan selisih antara total ekspor dan impor barang, jasa, dan transfer. Dalam perhitungannya, neraca perdagangan ini tidak mencakup transaksi-transaksi asset finansial dan kewajiban (hutang). Data ini merupakan indikator tren perdagangan luar negeri yang merupakan aliran bersih dari total ekspor dan impor barang dan jasa sebagai penerimaan atau penghasilan. Dengan adanya transaksi ekspor maka akan diterima sejumlah uang yang nantinya akan menambah permintaan terhadap mata uang negara eksportir. Begitu pula sebaliknya pada impor barang dan jasa dimana sejumlah uang harus dikeluarkan guna membayar barang dan jasa yang diimpor, hal ini akan menambah penawaran akan mata uang negara importir.
- Aliran Modal yaitu investasi langsung dan investasi tidak langsung, dimana pada investasi langsung, investor dari luar negeri melakukan penanaman modal dalam aset riil misalnya saja membangun pabrik, gedung perkantoran dan lain-lain. Investasi ini biasanya bersifat jangka panjang. Sedangkan investasi tidak langsung dapat ditemui di dalam investasi instrument keuangan. Misalnya seorang investor melakukan pembelian saham atau obligasi di bursa Indonesia.
Maka investor tersebut harus menukarkan mata uangnya ke rupiah supaya dapat membeli saham ataupun obligasi di Indonesia.
- Tingkat pengangguran adalah suatu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi rill berbagai sektor ekonomi. Indikator ini dapat dijadikan alat untuk menganalisa sehat/tidaknya perekonomian suatu negara. Apabila perekonomian berada dalam kondisi baik maka akan tercapai tingkat pengangguran yang rendah. Tetapi jika perekonomian dalam keadaan lesu maka tingkat pengangguran pun meningkat.
- Kurs valuta asing adalah nilai perbandingan atau bisa juga disebut nilai tukar antara suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs ini biasanya digunakan sebagai indikator utama untuk melihat kekuatan ekonomi ataupun tingkat kestabilan perekonomian suatu negara. Jika kurs mata uang negara tersebut tidak stabil maka dapat dikatakan bahwa perekonomian negara tersebut tidak baik atau sedang mengalami krisis ekonomi. Untuk itu perlu bagi suatu negara untuk memiliki mata uang yang stabil agar perekonomian negara tersebut dapat berjalan dengan lancar dan membentuk suatu tren pertumbuhan.
- PSNCR - Public Sector Net Cash Requirement atau kebutuhan tunai sektor publik yaitu jumlah uang yang harus dipinjam pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. Sebab pemerintah kerapkali mengeluarkan lebih dari yang mereka terima dari penerimaan pajak, dan satu-satunya cara untuk menambah kekurangannya adalah dari meminjam.
Teori yang dapat menjelaskan fenomena hubungan tingkat inflasi dan return saham pada khususnya dan pasar modal pada umumnya tidak berdasar hanya pada satu sisi. Minimal ada tiga teori yang dapat menjelaskan fenomena hubungan tersebut :
Teori makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) disatu kubu dan teori Geske dan Roll (1983:856) di kubu lain. Dua teori ini ikut mempertimbangkan pengaruh variabel ekonomi riil seperti Gross Domestic Product (GDP), jumlah uang beredar, tingkat harga umum, tingkat bunga dan pajak;
Saham merupakan klaim terhadap cash flows yang dihasilkan dari aset riil. Investasi saham menghasilkan returns yang dihitung dari selisih harga pada dua titik waktu yang berbeda dan deviden.
Saham merupakan klaim terhadap cash flows yang dihasilkan dari aset riil. Investasi saham menghasilkan returns yang dihitung dari selisih harga pada dua titik waktu yang berbeda dan deviden.
Apabila pasar modal efisien, maka ada hubungan antara return saham dengan variabel ekonomi riil (Fama, 1991:1609). Ada dua teori makroekonomi yang menjelaskan tentang korelasi harga saham dengan tingkat inflasi, yaitu teori yang dipelopori oleh Eugene F. Fama (1981:545) dan teori Geske dan Roll (1983:856). Kedua teori tersebut menyatakan bahwa harga saham adalah indikator yang baik tentang aktivitas ekonomi riil, sehingga return saham dapat digunakan untuk memprediksi pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) riil, kinerja industri, corporate earnings dan employment.
Teori makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) mengajukan suatu proposisi bahwa hubungan negatif antara return saham dan tingkat inflasi adalah karena faktor permintaan uang. Dengan menggunakan teori permintaan uang tradisional, Fama mengklaim bahwa jika anticipated GDP rendah berarti ex ante stock riil return rendah. Dengan tingkat penawaran uang yang tetap, anticipated GDP yang rendah ini menyebabkan tingkat harga umum cenderung naik atau inflasi. Jadi menurut Fama, penurunan ex ante stock riil return adalah suatu tanda penurunan GDP. Jika jumlah uang beredar cenderung tetap maka akan mengakibatkan kenaikan tingkat inflasi.
Geske dan Roll (1983:856) melihat hubungan antara return saham dan tingkat inflasi berdasarkan penawaran uang. Prinsip model Geske-Roll adalah bahwa penurunan anticipated GDP yang berarti penurunan ex ante stock riil return dapat mengakibatkan penurunan penerimaan pajak. Jika tingkat pengeluaran pemerintah tetap, penurunan penerimaan pajak ini akan mengakibatkan kenaikan defisit anggaran yang berakibat pada inflasi. Hal ini karena pemerintah akan melakukan hutang untuk menutup defisit anggaran.
Teori Fisher tentang tingkat bunga yang diaplikasikan pada saham sebagai aset yang beresiko, dikembangkan oleh Jaffe dan Mandelker (1976:447);
Irving Fisher mengemukakan bahwa tingkat bunga bisa diuraikan menjadi tingkat bunga riil dan premi resiko inflasi. Berdasarkan asumsi rasionalitas, orang juga akan menghendaki hal yang sama pada return lainnya, atau berlakunya generalisasi Fisher Effect pada semua aset. Jaffe dan Mandelker (1976:450) menyebut hal ini sebagai Generalized Fisher Effect. Jaffe dan Mandelker menguji Fisher Hypothesis pada saham sebagai aset yang beresiko, hal yang sama dilakukan pula oleh Nelson (1976:471) dan Firth (1979:743). Asumsi yang digunakan Jaffe dan Mandelker dalam menentukan anticipated inflation adalah menggunakan Markov Inflationary Expectation dengan beberapa modifikasi.
Teori yang dikembangkan oleh Bodie (1976:459) yang menganggap bahwa saham seharusnya dapat digunakan sebagai hedge terhadap inflasi.
Masing-masing teori telah dibuktikan secara empirik terutama di negara maju yang memiliki pasar modal mapan.
Telaah teori mengungkapkan bahwa inflasi akan cenderung meningkatkan biaya produksi dari perusahaan. Berarti margin keuntungan dari perusahaan menjadi lebih rendah dan dampak lebih lanjut menjadikan harga sahamnya di bursa efek menjadi menurun. Jika terjadi demikian, maka penurunan tersebut cenderung tidak akan berlangsung seketika tetapi melalui proses waktu. Dilihat dari sisi investor, tingginya inflasi akan mengurangi nilai keuntungan dan juga mengurangi daya beli modal investasinya. Dengan demikian jika angka inflasi naik, maka IHSG akan menurun dan demikian sebaliknya.
Secara teoretis, investasi pada saham dapat memberikan perlindungan nilai (hedge) yang baik dari pengaruh inflasi karena saham merupakan klaim terhadap aset-aset riil. Teori tersebut dikemukakan antara lain oleh Bodie ("Common stocks as a hedge against inflation", Journal of Finance, 31, 459-470, 1976) serta Fama dan Schwert ("Asset returns and inflation", Journal of Business, 55, 201-231, 1977). Berdasarkan teori tersebut, tingkat pengembalian riil dari saham seharusnya tidak terpengaruh oleh perubahan harga-harga barang dan jasa.
Berlawanan dengan harapan dari teori tersebut, kenyataan empiris di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa inflasi dan tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi secara negatif dalam arti inflasi yang sangat tinggi cenderung disertai dengan tingkat pengembalian investasi pada saham yang rendah.
Kenyataan empiris di AS pada periode 1953-1971 tersebut dikemukakan Fama ("Stock returns, real activity, inflation and money", American Economic Review, 71, 545-565, 1981). Kenyataan empiris yang berlawanan dengan teori tersebut dijelaskan oleh Fama (1981) dengan menggunakan hipotesa pendekatan (proxy) yang menjelaskan bahwa karena tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi positif dengan aktivitas ekonomi riil dan aktivitas ekonomi riil berkorelasi negatif dengan perubahan harga-harga barang dan jasa (inflasi), maka tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi negatif dengan inflasi. Hipotesa tersebut menyiratkan bahwa tingkat pengembalian investasi pada saham lebih erat terkait dengan aktivitas ekonomi riil daripada dengan inflasi.
Di sisi yang lain, studi yang dilakukan oleh Spyrou ("Are stocks a good hedge against inflation? Evidence from emerging markets", Applied Economics, 36, 41-48, 2004) menyimpulkan bahwa di beberapa negara berkembang, selain Indonesia, kenyataan empiris menunjukkan bahwa pada beberapa emerging stock markets inflasi berkorelasi secara positif dengan tingkat pengembalian investasi pada saham.
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004), indikasi tersebut kemungkinan disebabkan oleh korelasi positif antara inflasi dan aktivitas ekonomi riil di banyak emerging countries serta kemungkinan adanya keterkaitan erat antara kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di negara-negara tersebut.
Penelitian empiris di BEJ Indonesia melalui analisis regresi dengan menghubungkan secara langsung (dirrect effect) antara inflasi dengan IHSG dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2005-2006, ternyata hasilnya tidak ditemukan bukti yang signifikan bahwa inflasi berpengaruh terhadap IHSG. Artinya penurunan IHSG bukan karena pengaruh secara langsung dari kenaikan inflasi.
Sebagai ilustrasi, pada akhir Maret 2004, tingkat inflasi tahunan di Indonesia adalah sebesar 5,11 persen, suatu tingkat yang relatif rendah sepanjang sejarah inflasi di Indonesia sejak tahun 1997. Sejak akhir Oktober 2003, IHSG telah membukukan kenaikan yang signifikan, dari level 625,55 ke level 735,68 pada akhir Maret 2004. Pada periode tersebut, tingkat inflasi di Indonesia mulai terkendali dan berada di bawah angka enam persen. Karena kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan, keterkaitan antara inflasi dengan kenaikan IHSG menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
Indonesia sebagai salah satu negara dalam kelompok emerging countries memiliki kaitan antara inflasi tahunan dan kinerja tahunan indeks saham yang menarik untuk dikaji. Secara keseluruhan dalam periode Januari 1997 hingga Maret 2004, IHSG mengalami apresiasi nilai dalam 41 dari 87 bulan yang diamati. Rata-rata tingkat pengembalian investasi pada saham dan tingkat inflasi tahunan dalam periode tersebut adalah berturut-turut sebesar 5,78 persen dan 17 persen. Pada periode yang sama menunjukkan bahwa apresiasi nilai IHSG melebihi laju inflasi tahunan dalam delapan dari sepuluh bulan ketika laju inflasi berada di bawah angka empat persen. Ketika laju inflasi tahunan berada di antara empat sampai dengan enam persen, apresiasi nilai IHSG melebihi laju inflasi dalam 13 dari 16 bulan yang diamati. Sedangkan ketika laju inflasi tahunan melebihi angka enam persen, apresiasi nilai IHSG hanya melebihi laju inflasi dalam sepuluh dari 61 bulan yang diamati.
Hasil studi yang dlakukan oleh Yuki Indrayadi, tentang kaitan antara inflasi dan kinerja IHSG dalam periode Januari 1997 sampai dengan Maret 2004 mengindikasikan bahwa dengan inflasi tahunan sebesar 5,92 persen pada akhir bulan April 2004, investasi pada saham dapat diharapkan untuk memberikan tingkat pengembalian yang lebih menarik dibandingkan dengan penyimpanan uang di bank. Namun, perlu diingat bahwa investasi di bursa saham adalah investasi yang mengandung riesiko, Sebagai contoh, IHSG yang ditutup di level tertinggi baru 818,16 pada tanggal 27 April 2004 mengalami penurunan nilai sebesar 4,71 persen menjadi 779,60 dalam empat hari perdagangan,
Walaupun laju inflasi masih terkendali di bawah angka enam persen. Terlepas dari lebih sederhananya metode yang digunakan dan pendeknya rentang data dalam studi, hasil studi ini mengindikasikan bahwa pola kinerja bursa saham Indonesia mirip dengan pola kinerja bursa saham di Amerika Serikat seperti yang dikemukakan oleh Fama (1981) di mana kinerja positif dari investasi pada saham didorong oleh tingkat inflasi yang terkendali dan meningkatnya aktivitas ekonomi riil. Terlepas dari sentimen negatif terhadap saham-saham di BEJ yang disebabkan instabilitas politik menjelang pemilu presiden di bulan Juli 2004, mulai pulihnya aktivitas ekonomi riil Indonesia tampak dari membaiknya profitabilitas dari emiten-emiten di BEJ pada kuartal pertama tahun 2004.
Namun demikian, sekali lagi, pengaruh inflasi terhadap kinerja bursa tidak hanya dilihat pengaruh secara langsung tetapi juga harus dilihat pengaruhnya secara tidak langsung. Secara metodologis dikenal pengaruh secara langsung (direct effect), pengaruh secara tidak langsung (indirect effect) dan pengaruh total (total effect). Pengaruh tidak langsung dalam hal ini yaitu inflasi akan berpengaruh pada tingginya suku bunga dan lebih lanjut suku bunga akan berpengaruh pada kinerja bursa.