Teori Dasar Kerangka Berfikir Ilmiah

Kerangka Berfikir Ilmiah
Definisi - Pertama yang harus didefinisikan adalah kata definisi itu sendiri. Mengapa demikian? Tanpa kita sadari secara penuh, sebenarnya “Definisi” adalah unsur pengetahuan yang kita butuhkan. Baik dalam kehidupan Ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari kita sering berurusan dengan “Definisi”.

Lalu apa defenisi dari “Defenisi”? Secara sedrhana defenisi adalah Batasan /Membatasi sesuatu sehingga kita dapat memiliki pengertian terhadap sesuatu atau memberikan pengertian/penjelasan tentang sesuatu hal dan disertai dengan batasan-batasan sehingga hal tersebut menjadi jelas. Karena teori ini mengharuskan adanya “Batas” dalam sebuah objek yang hendak didefinisikan, secara langsung juga membutuhkan sesuatu yang menjadi karakteristiknya. Apa karakteristik itu? Secara singkat dapat kita sebut sebagai Genera (Jenis) dan Difffferentia (Sifat pembeda). Dapat disimpulkan bahwa inti dari definisi yang pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang terbatas. Konsekwesinya, jika sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat didefinisikan.

Kerangka adalah sesuatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga sesuatu yang lain dapat berdiri, dan Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke titik yang lain. Atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu ke pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian ada juga yang mendefinisikan berpikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Tapi yang penting (inti pembahasannya) adalah adanya gerak akal.

Ilmiah adalah sesuatu hal/penyataan yang bersifat keilmuan yang sesuai dengan hukum-hukum ilmu pengetahuan. Atau sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, dengan menggunakan metode Ilmiah (Prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna memperoleh pengetahuan yang didasarkan atas uji coba hipotesis serta teori secara terkendali). Satu hal yang menjadi garis bawah adalah “kebenaran ilmiah tidak mutlak, melainkan bersifat sementara, relatif, metodologis, pragmatis, dan fungsionalis, dan pasti Epistemologis. 

Dengan demikian dalam kacamata dunia Ilmiah berdasarkan metode ilmiah, ilmu pengetahuan sebagai hasil fikir manusia akan terus bertambah tanpa mengenal batas akhir.Permasalahan Berfikir Ilmiah sudah tentu tidak terlepas dari kajian filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian dari pengetahuan ilmiah. Sebelum memasuki pembahasan mendalam penting kiranya saya jelaskan secara singkat apa itu filsafat? (Mengingat kajian kita nantinya akan banyak bersinggungan dengan keilmuan ini).

Filsafat atau Falsafah (Arab) Pilosopia (Latin) bada dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Philo” yang berarti cinta dan “Sophia” yang berarti arif, bijaksana / pandai. Secara bahasa semula Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan, kepandaian. Namun, cakupan pengertian “Sophia” yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu “Sophia” tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat dll.
sumber-sumber pengetahuan. 

Secara umum ada beberapa mazhab pemikiran yang berusaha menawarkan sumber-sumber pengetahuansebagai mana berikut:

1. Skriptualisme
Skriptualisme adalah sebuah sistem berpikir yang dalam menilai kebenaran digunakan teks kitab. Asumsi dasar yang terbangun adalah teks dalam kitab mutlak adanya, oleh karenanya dalam penilain kebenaran harus sesuai dengan teks kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya kaum skriptual adalah orang yang beragama secara sederhana. 

Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan hampir tidak ada. Akal dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya kembali lagi ke teks kitab. Namun dalam wilayah epistemologi, skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
  • Tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tersebut. Kalau yang mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya “Bagaimana caranya diantara banyak kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar”. Kalau kita langsung percaya, maka kitab lain juga harus kita langsung percaya. Nah, kalau kontradisi, kitab yang mana benar? Artinnya, kelemahan pertamanya adalah butuh sesuatu dalam membuktikan kebenaran sebuah kitab.
  • Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: terjebak pada subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada umatnya. Kebenaran Al Qur’an, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam. Umat Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab mereka masing-masing. Sementara kita tidak dapat memaksakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain
2. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir dan masih berada di alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahaun itu hilang. Untuk itu yang harus manusia lakukan kemudian adalah bagaimana mengingat kembali. Pengetahuan yang kita miliki hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan kembali. 

Teori ini juga sering disebut sebagai teori pengingatan kembal. Namun sebagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa kekurangan.
  • Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah di alam ide
  • Turunan dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan teori ini benar) ternyata sebelum lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita saat ini selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
  • Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita bukan saja memiliki ide, tapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita justru semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa empirisnya. Tetapi empirisme memiliki kekurangan sebagai berikut:
  • Indera terbatas mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda. Begitupun telinga dan indera lainnya. Olehnya indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat terbatas atau material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cinta misalnya, tidak dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
  • Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan benda pada dua zat dengan kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan pensil ke dalam gelas berisi air kita akan melihatnya bengkok karena kerapatan molekul air, gelas dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.
4. Kaum Perasa (Intuisi)
Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai tolok ukur kebenaran. Ciri khas mereka adalah “Yakin saja”. Mereka menganggap dirinya sebagai orang yang paling mampu mendengar suara hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak orang beragama seperti ini padahal sistem berpikir macam ini memiliki kekurangan dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:
  • Tidak jelas yang didengar itu adalah suatu hati atau justru sekedar gejolak emosional, atau bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai hanya gejolak emosi lantas dianggap suara hati, atau bisikan setan. Nah persoalannya bagaimana membedakannya?
  • Kalau pun didengar adalah suara hati, maka akan subjektif. Karena hati orang berbeda. Jika subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas, bukan kemutlakan.
  • Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati. Kalau akal menjustifikasi penggunaan hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan mengapa harus mengikuti suara hati, maka kembali ke point sebelumnya.
Selanjutnya dalam kacamata Epistemologi ada beberapa istilah yang penting untuk diketahui seperti :
  • Skeptisme; Dalam bahasa yunaninya adalah Skeptomai maknanya saya berfikir dengan seksama atau saya lihat dengan teliti, kemudian diturunkan arti yang dihubungkan dengan kata tersebut yaitu “Saya Meragukan”. Adalah Naif jika ada orang yang tidak pernah meragukan sesuatu apapun, dengan meragukan maka proses verifikasi akan terjadi.
  • Subjektivisme; Mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti ada dalam diri kita sendiri & kegiatan sadar kita. Dengan kata lain pengetahuan yang bukan AKU adalah pengetahuan yang tidak langsung. Sehingga muncul apa yang disebut dengan The Problem of Bridge (Soal Jembatan Pengetahuan), yaitu Bagaimana orang dapat keluar dari pikirannya sendiri dan mengetahui dunia objektiv diluar kita? Bagaimana kita bisa tau bahwa gagasan itu memang sesuai dengan Objeknya sendiri (Bukan cuman ilusi kita) 
  • Relativisme; Mengingkari adanya dan diketahuinya kebenaran yang Objektiv dan Universal oleh manusia (Kebenaran yang ada dimanusia adalah kebenaran yang bersifat relatif)
Mana yang Rasional..? 
Sesutu kadang dianggap tidak rasional karena tiga hal. 
  • Pertama tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna indra manusia biasanya dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya menghinggapi orang yang sangat empiris. 
  • Kedua menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang Khaibar, kaum muslim menundukkan benteng terakhir kaum Yahudi. Para sahabat sejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat pintu benteng itu, tapi Sayyidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap tidak rasional, padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. 
  • Ketiga tidak tahu. Ketidaktahuan adalah kelemahan yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan stigma irasional.
Rasionalisme tidak menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi, juga perasaan. Akan tetapi kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua yang ditangkap oleh bagian diri kita. Namun bagi sekelompok orang, akal tidak dapat digunakan untuk menilai kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya penggunaan akal sangat dekat dengan mengakal-akali sesuatu.

Memang benar bahwa akal terbatas dibanding PenciptaNya (selanjutnya dibahas dalam materi NDP / Dasar-Dasar Kepercayaan), akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana batasnya? Hukum akal menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi kesadaran akal sebagai ciptaan atau akibat pasti memiliki keterbatasan dihadapkan dengan penciptaNya. Cuma persoalannya adalah sejauh mana kita gunakan akal kita untuk mengetahui.

Dalam kacamata seorang filsuf bahwa manusia adalah binatang berakal. 
Secara Biologis manusia memiliki syarat-syarat kebinatangan seperti respirasi, eksresi, regenerasi dan sebagainya. Bedanya Cuma satu, akal. Artinya manusia yang tidak menggunakan akalnya bisa lebih buruk daripada binatang.

Kadang orang merancukan antara akal dan otak. Katanya, otaklah yang berpikir. Untuk menjawab hal ini sederhana. Seandainya otak yang berpikir, maka tentu saja kerbau adalah makhluk yang cerdas karena volume otaknya lebih besar dari manusia. Ternyata kedokteran modern menemukan bahwa dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh dimana tubuh disisi kanan diatur melalui tulang belakang menuju ke otak kiri begitupun sebaliknya. Artinya otak tidak ada hubungannya dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah organ seperti jantung, paru-paru dan sebagainya.

fakultas pengetahuan, diantaranya:
  • Indera, yang mencakup warna, bentuk, bunyi, bau,dam sebagainya. Perbedaan dengan empirisme, empirisme menjadikan indera sebagai tolok ukur sedang rasionalisme menjadikan indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.
  • Khayal. Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide manusia dan monyet yang kesemuanya memiliki realitas eksternal, namun jika digabungkan menjadi kera sakti yang hanya memiliki realitas internal (dalam ide) tapi tidak direalitas eksternal.
  • Wahmi. Berkaitan dengan perasaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu secara wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih dikontrol, bukan sebagai patokan utama.
  • Akal. Fakultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.
Kita telah sampai pada pentingnya akal dalam menilai sesuatu. Namun, persoalannya lagi bahwa ternyata akal pun masih bisa salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal ini, kita kembali ke pendefinisian awal. Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti menandakan adanya proses. Analogi sederhana motor adalah akalnya, mengendarai motor adalah menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain, atau berpikir. Dalam proses itu harus menaati aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan seperti lampu lalu lintas dan rambu-rambu maka akan terjadi kecelakaan. Berpikir dengan tidak menaati rambu-rambu atau aturan berpikir akan menyebabkan kecelakaan berpikir.

Jadi terjadi kesalahan berpikir bukan akalnya yang salah, tapi penggunaannya yang tidak tepat. Untuk itu kita harus mengetahui bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya, yang itupun harus dinilai kebenarannya.

Seorang pemikir telah membantu kita menyusun prinsip atau aturan berpikir tersebut yang sering disebut logika aristotelian atau logika formal sebagai berikut:
  • Prinsip identitas.
    Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri. Secara matematis dirumuskan: X=X
  • Prinsip non kontradiksi.
    Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang berkontradiksi. Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus matematika: X ? X
  • Prinsip kausalitas.
    Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang kebetulan. Setiap sebab melahirkan akibat.
  • Prinsip keselarasan.
    Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan sebabnya.
Kira-kira begini:
Kambing jika kita beri emas dan rumput ia tidak akan mengambil emas karena rumput = rumput dan emas = emas artinya justru prinsip ini berlaku universal.

Ketika kita menangkap sesuatu kama akal kita akan mengatakan bahwa tidak mungkin dia ada dengan sendirinya, pasti ada penyebabnya. Dan akibat pasti selaras dengan sebabnya. Tidak mungkin benih jagung menyebabkan tumbuhnya pohon kurma. Semua yang ada di alam ini adalah bukti kemutlakan prinsip yang niscaya lagi rasional ini.

Untuk menjelaskan hal itu Aristoteles juga mengembangkan metode ke dalambeberapa macam (Yang sebenarnya tidak jauh beda): 
  • Induksi yaitu penalaran dari yang khusus kepada yang umum, 
  • Deduksi yaitu penalaran dari yang umum kepada yang khusus 
  • Observasi yaitu penggunaan bukti empiris, 
  • Klasifikasi yaitu penggunaan definisi. Beberapa metode yang bermunculan sesuai dengan bidang keilmuannya diantaranya phytagoras mengembangkan metode perhitungan matematika, democritus dengan mengajukan konsep mekanisme. Dan metode ilmiah akhirnya menjadi sebuah tahapan yang bervariasi sesuai dengan disiplin ilmumyang dihadapi & untuk jelasnya silahkan baca buku logika atau kajian

Semoga Bermanfaat...

Admin : Andi AM




Previous
Next Post »