Konsep Pemikiran Plato - Murid Dari Socrates

Kerangka Berfikir - Plato lahir dari kalangan keluarga aristokrat. Ia merupakan murid dari filsuf terkenal Socrates. Hukuman mati yang harus dijalani Sang Guru Socrates akibat mempertahankan pemikirannya, memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran Plato. Ini menyebabkan Plato tidak setuju dengan pemerintahan demokrasi yang telah menyebabkan kematian gurunya. Selain itu pemikiran Plato juga banyak dipengaruhi oleh pengalaman semasa mudanya yang melihat kekalahan Athena dalam menghadapi serangan dari Sparta. Menurutnya, pemerintahan demokrasi menyebabkan pertahanan Athena menjadi lemah sehingga kalah dari Sparta. Plato juga melakukan berbagai perjalanan ke berbagai negara seperti Sisilia dan Itali, juga Afrika (Mesir) dan negara-negara Timur Tengah yang ikut mempengaruhi pemikirannya.

1. Buku Politea (Republik)
Tema isi buku Politea adalah mengenai keadilan. Menurut Plato, keadilan memiliki pengertian bahwa seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai dengan bidangnya atau dengan kata lain bekerja sesuai dengan kemampuannya. Dalam hubungan kenegaraan, keadilan menurut Plato terletak pada adanya keselaran antara fungsi dan kecakapan seseorang dalam suatu bidang. Ada empat masalah besar yang dibahas dalam buku Republik, yakni : pertama, mengenai metafisika yang mencari dan membicarakan hakikat segala yang ada di dunia ini. Kedua, mengenai etika baik dan benar. Ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang di dunia ini dan terakhir mengenai pemerintahan yang ideal. 

Di dalam buku ini Plato juga membahas mengenai kemunduran Athena akibat merajalela-nya ketidaktahuan dan kepentingan diri. Ketidaktahuan di sini dalam arti demokrasi-kuno yang menempatkan seseorang pada jabatan-jabatan publik tanpa melalui persyaratan yang ideal. Adapun kepentingan diri mengandung arti individualisme yang tidak dikendalikan, dengan menyamakan kepentingan masyarakat (negara) dengan kepentingan pribadi para pejabat. Menurut Plato, kepentingan seseorang haruslah disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Melalui ini Plato melihat pentingnya rasa kolektivisme.

2. Negara
Salah satu kekurangan tulisan dari Deliar Noor adalah sedikitnya pembahasan mengenai negara menurut Plato. Padahal ada banyak pemikiran Plato mengenai negara. Jika merujuk pada tulisan Ahmad Suhelmi, maka pemikiran Plato mengenai negara yang ideal adalah negara yang menganut prinsip kebajikan (virtue). Kebajikan dalam hal ini adalah pengetahuan. Atas dasar ini Plato melihat pentingnya lembaga pendidikan bagi kehidupan kenegaraan. Negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang didambakan manusia. 

Plato  melihat bahwa munculnya negara karena adanya hubungan timbal-balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa manusia yang lain. Manusia juga dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama. Keadaan inilah yang kemudian memunculkan pembagian kerja sosial. Negara ideal menurut Plato juga melarang adanya kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang, harta, keluarga, anak dan istri. 

Negara juga oleh Plato dilihat sebagai sebuah sistem pelayanan, di mana setiap anggota harus memberi dan menerima. Negara harus menjaga keadaan hubungan timbal-balik ini dan harus berusaha agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sehingga berdasarkan asumsi ini Plato menolak teori hubungan sosial berdasarkan dari sebuah “kontrak” atau persetujuan. Bagi Plato, tugas negara adalah untuk melindungi kemerdekaan memilih. 

3. Syarat Penguasa
Plato berpendapat bahwa yang berhak menjadi seorang penguasa adalah seorang fisuf (the philosopher king) atau orang yang berpengetahuan. Ia amat mengedepankan pentingnya pengetahuan bagi seorang penguasa, karena menurutnya pengetahuan berkorelasi dengan kebajikan. Ia mengumpakan pentingnya pengetahuan itu melalui analogi kisah manusia di dalam gua. Ia mengisahkan ada sekelompok orang di dalam gua yang diikat di dalam gua dan duduk membelakangi pintu gua. Akibatnya, mereka hanya bisa melihat bayangan orang yang lalu-lalang di depan gua. Begitupula suara yang  mereka dengar hanyalah berupa gema. Sehingga bila kemudian ikatan terhadap manusia di dalam gua itu dilepaskan, maka akan tampaklah kesungguhan bagaiamana rupa orang yang lalu lalang itu sebenarnya, secara langsung tanpa melalui bayangan. Maka jika orang yang dilepaskan ikatannya itu kembali ke dalam gua dan memberitahukan kepada teman-temannya, mungkin ia akan ditertawakan oleh teman-temannya. Padahal teman-temannya tidak mengetahui bahwa kawannya yang telah keluar gua itulah yang mengetahui kebenarannya itu.

Melalui perumpamaan di atas Plato ingin mengungkapkan pentingnya ilmu dan amal. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan haruslah memberikan sumbangan terhadap masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh manusia gua yang telah keluar dari gua dan melihat dunia luar yang sesungguhnya, ia kembali kepada teman-temannya yang belum memiliki pengetahuan. Oleh karenanya, seorang pemimpin negara haruslah orang-orang yang berilmu yakni filsuf.

Selain itu, Mc Donald juga memberikan diferensiasi pemikiran Plato mengenai analogi orang gua dan seorang pemimpin. Jika orang gua keluar dari gua bisa karena sebuah insiden. Maka seorang philosopher king kembali masuk ke dalam “gua” bukan karena keinginannya, tetapi kewajibannya. 

Jika merujuk pada tulisan Sabine, pentingnya penguasaan ilmu bagi seorang negarawan, dikarenakan ia harus mengetahui tentang negara seperti apa yang diketahui oleh seorang tabib tentang kesehatan. Tujuannya agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dan mencegah timbulnya persoalan yang lain. Seorang negarawan juga harus mengetahui betul mengenai “kebaikan” itu, sehingga berdasarkan pengetahuan itu, ia dapat menyusun kebutuhan tentang negara dengan baik.

4. Pembagian Kerja
Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa Plato amat menekankan adanya keseuaian antara fungsi dan kapabilitas seseorang, maka berdasarkan panggilan kesadaran diri manusia terhadap tujuan hidupnya, Plato membagi tiga jenis kelas dengan berdasarkan fungsi, yakni : kelas penguasa (yang mengetahui segala sesuatu), kelas pejuang atau pembantu penguasa (yang penuh semangat) dan kelas pekerja (yang lebih mengutamakan keinginan dan nafsu).

Konsepsi stratifikasi sosial berdasarkan fungsi ini mendatangkan konsekuensi berupa pentingnya pendidikan bagi seorang manusia. Bagi seseorang yang menginginkan masuk ke dalam kelas penguasa, ia harus menempuh pendidikan secara terus menerus dan bahkan merupakan pekerjaan seumur hidup. Bagi mereka yang hanya menempuh pendidikan sebentar, maka ia akan tersisih dari kelas calon penguasa, sehingga ia hanya masuk kelas pejuang atau kelas pekerja. Ketiga unsur ini kemudian membentuk negara, sebab manusia tidak bisa hidup sendirian, ia memerlukan manusia lain. Manusia perlu bekerja sama untuk mencukupi kebutuhan jasmani seperti makan dan minum. 

Jika merujuk pada Sabine, adanya stratifikasi sosial ini merupakan sebuah analisa Plato mengenai hubungan antara individu dengan negara. Analisanya tentang negara menunjukkan bahwa ada tiga tugas yang harus dikerjakan. Maka berdasarkan azas spesialisasi, Plato membagi kelompok manusia kedalam tiga golongan di atas.

Jika dilihat dari aspek psikologis, maka stratifikasi ini memiliki kekuatan atau “jiwa” yang penting. Strata kelompok paling bawah dikorelasikan dengan nafsu atau selera, sehingga sebagai kelas pekerja, kelompok ini ditujukan untuk bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari kelompok yang lain. Sedangkan kekuatan bertindak atau semangat berada di dalam dada, pengertian ini sejalan dengan tugas dari kelompok tentara yang berada di tengah-tengah stratifikasi sosial. Dan kekuatan untuk mengetahui atau berfikir yaitu jiwa rasional yang berada di dalam kepala, inilah yang didefinisikan sebagai kelompok penguasa, the philosopher king. Sekelompok orang yang memiliki pengetahuan yang luas. 

Stratifikasi kelas yang dibuat oleh Plato tidak bersifat kasta, yang pengelompokannya berdasarkan keturunan atau biologis. Plato menginginkan sebuah masyarakat di mana setiap anak diberikan latihan dan pendidikan yang sesuai dengan kekuatannya, di mana kepada setiap individu diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan yang setingi-tingginya sesuai dengan kecakapan, pendidikan dan pengalamannya. Dari proses inilah, secara ilmiah, menurut konsep spesialisasi-nya, individu-individu yang tidak memiliki kecakapan dalam pengetahuan akan “tersingkir” satu per-satu dan dimasukkan ke dalam kelompok masing-masing berdasarkan survival-nya dalam mencari ilmu. Individu yang hanya sedikit mengenyam bangku pendidikan akan masuk kepada golongan terbawah, dan begitu seterusnya.

Meski membagi kelompok masyarakat menjadi tiga kelas, namun Plato tidak memberikan ruang pada perbudakan. Menurut Plato, negara tidak memerlukan adanya golongan budak, karena di dalam bukunya ia tidak menyebutkan pekerjaan khusus yang dilakukan oleh budak. Hal ini berbeda dengan Aristoteles yang melihat pentingnya golongan budak. Ada pertentangan beberapa ahli yang melihat bahwa Plato di dalam bukunya Republik ingin menghapuskan perbudakan. Namun Sabine melihat bahwa Plato menganggap perbudakan tidaklah begitu penting.

5. Kehidupan Sosial, Hak Milik, dan Keluarga
Plato melarang adanya hak milik dan kehidupan berkeluarga. Hak milik menurutnya hanya akan mengurangi dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Oleh karenanya keperluan jasmani seseorang akan dicukupi oleh negara. Di samping itu, pelarangan Plato terhadap hidup berkeluarga ditujukan untuk menjamin tidak bercampurnya antara kepentingan negara dengan kepentingan diri dengan adanya keluarga. Komunisme ala Plato ini hanya ditujukan untuk kelas-kelas penguasa dan pembantu penguasa, sebab melalui hal ini diharapkan lahirnya individu-individu sehat dan berbakat (usaha untuk menciptakan varietas unggul). Akan tetapi kelas ketiga, yakni pekerja, diperbolehkan untuk memiliki hak milik dan keluarga, karena tugas mereka untuk menghidupi kelas lain melalui penyelenggaraan produksi perekonomian.

Pemikiran Plato ini diilhami dari negara Sparta di mana warga negaranya tidak diperkenankan memiliki uang dan melakukan perdagangan. Adapun tujuan dari keadaan itu adalah untuk menciptakan kesatuan yang sebulat-bulatnya dalam negara, yang melalui adanya hak kepemilikan tidak sesuai dengan tujuan itu. Sedangkan tujuan Plato mengenai pelarangan berkeluarga adalah untuk menghindarkan seseorang dari sikap mementingkan kepentingan diri sendiri dengan adanya anak.

Kegagalan Plato
Pemikiran Plato sedikit bergeser ketika ia gagal untuk membentuk kepala keluarga sesuai dengan konsepsinya. Ia gagal mendidik Dionysius  dan Dionysius II di Syracuse, Sisilia sesuai dengan bukunya Politea. Keadaan ini membuat ia menulis buku yang lebih melihat kepada ‘kenyataan’ yakni kitab Hukum (Nomoi), yang tidak menempatkan penguasa di atas hukum, melainkan sebagai pengemban dan penjaga hukum itu sendiri. Di dalam buku ini penguasa memiliki hak milik dan keluarga. Komunisme yang dianjurkan Plato dihapuskan. Penguasa juga bukan merupakan kelas tersendiri, tetapi bergantung kepada pilihan yang datang dari rakyat, namun kemauan dalam hal ini adalah kemauan baik. 

Dapat dikatakan sebelum ditulisnya buku Nomoi, pemikiran Plato sangat utopis mengenai konsep negara dan hak milik. Di mana Plato lebih melihat hakikat pentingnya tujuan dari terselenggaranya sebuah negara, dibandingkan cara untuk mencapai tujuan. Jadi meski negara bersifat otoriter ataupun tirani, asalkan kesemua hal itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat, maka dapat dibenarkan. Padahal tujuan yang baik tidak akan dapat tercapai melalui cara yang baik pula. Keadaan inilah yang agaknya diinsyafi Plato sehingga ia merubah banyak pemikirannya mengenai negara dalam bukunya yang terakhir. 

Semoga Bermanfaat...

Admin : Sartina Miftah, SS
Support Web Blog : Pengacara Senior




Previous
Next Post »