Sejarah Retorika dan Tokoh-Tokoh di Bidang Ilmu Retorika

Sejarah Retorika - Retorika sudah ada sejak manusia lahir. Namun, sebagai seni yang dipelajari dimulai abad 5 sebelum Masehi (SM) ketika kaum sofis di Yunani mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk mengajarkan pengetahuan tentang politik dan pemerintahan dengan penekanan terutama pada kemampuan berpidato. Pemerintah perlu usaha membujuk rakyat demi kemenangan dalam pemilihan. Berkembanglah seni pidato yang membenarkan pemutarbalikan kenyataan demi tercapainya tujuan. Khalayak bisa tertarik dan terbujuk. Retorika dipelajari, diawali, dan dilaksanakan di negara-negara yang menganut demokrasi langsung, yakni Yunani dan Romawi.

Pada waktu itu, retorika memiliki beberapa fungsi yakni untuk mencapai kebenaran/kemenangan bagi seseorang atau golongan dalam masyarakat; untuk meraih kekuasaan, yakni mencapai kemenangan seseorang atau kelompok dengan pemeo ‘siapa yang menang dialah yang berkuasa’; sebagai alat persuasi yang digunakan untuk mempengaruhi manusia lain.
 
TOKOH-TOKOH DI BIDANG RETORIKA
Georgias (dari kaum sofisme). Dia yang mengatakan bahwa kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan. Georgias ini merupakan guru retorika yang pertama. Ia membuka sekolah retorika yang mengajarkan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromptu (berbicara tanpa persiapan). Ia meminta bayaran mahal, sekitar 10.000 dollar per mahasiswa. Georgias bersama Protagoras menjadi ‘dosen terbang’ yang mengajar berpindah dari satu kota ke kota lain. Sekolah tersebut dibuka dalam rangka memenuhi ‘pasar’ akan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif.

Protagoras. Dia menyatakan bahwa kemahiran berbicara bukan untuk kemenangan melainkan demi keindahan bahasa. Sokrates menyatakan bahwa retorika adalah demi kebenaran. Dialog adalah tekniknya, karena dengan dialog kebenaran akan timbul dengan sendirinya. Teknik dialog Sokrates mengikuti jalan deduksi, yaitu menarik kesimpulan-kesimpulan untuk hal-hal yang khusus setelah menyelidiki hal-hal yang berlaku pada umumnya. Metode Sokrates mengenai retorika ini adalah:
  • memisahkan pemikiran salah dari yang tepat, yakni dengan jalan berpikir mendalam dan memperhatikan suatu persoalan dengan sungguh-sungguh agar dapat menemukan suatu ‘nilai universal’ yang ada dalam masyarakat. Nilai ini yang dipergunakan untuk memecahkan persoalan tersebut,
  • bertanya (dialog) dan menyelidiki argumentasi-argumentasi yang diberikan kepadanya dengan harapan dapat membuat suatu definisi tentang apa yang diketemukannya (definisi ini berdasarkan hasil penemuan dari masyarakat).
Adapun teknik yang digunakan oleh Sokrates ialah berpura-pura bodoh seolah-olah tidak mengetahui sama sekali suatu persoalan; membuat pertanyaan berdasarkan apa yang telah diketahui; mengadakan perdebatan. Sokrates dianggap menyimpang karena dialog digunakan untuk mempengaruhi, bukan mengumpulkan fakta atau data.

1. Sokrates. Beliau mendirikan sekolah retorika dengan menitikberatkan pendidikannya pada pidato-pidato politik. Menurut Isokrates, hakekat pendidikan adalah kemampuan membentuk pendapat-pendapat yang tepat mengenai masyarakat. Isokrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat, retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Akan tetapi, tidak semua bisa memperoleh pelajaran ini. 

Retorika menjadi pelajaran yang elit. Isokrates mendirikan sekolah retorika tahun 391 SM dengan penekanan pada penggunaan kata-kata dalam susunan yang jernih tapi tidak berlebih-lebihan, rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Sekolah Isokrates menitikberatkan pendidikan ‘pidato-pidato politik’ (political oratory) yang menghubungkan persoalan aktual dengan perkembangan politik. Isokrates dikenal sebagai ‘political essayist’ yang pertama. Gagasan-gagasan Isokrates yang terkenal lainnya adalah pendapat yang terbentuk di bawah pembimbingan lebih baik daripada tindakan-tindakan praktis, inti pendidikan adalah kemampuan membentuk pendapat-pendapat yang tepat mengenai masyarakat sehingga diharapkan orang mampu mengeluarkan pendapatnya dengan tepat.

2. Plato. Bagi Plato, retorika memegang peranan penting bagi persiapan untuk menjadi pemimpin. Retorika penting sebagai model pendidikan, sarana mencapai kedudukan dalam pemerintahan, dan mempengaruhi rakyat. Retorika memberi kemampuan penggunaan bahasa yang sempurna. Plato dilahirkan pada tahun 427 SM di Athena dari kalangan bangsawan. Ia mengagumi Sokrates sejak muda. Ia juga pandai mengarang dan perhatiannya ditujukan pada karangan yang berbentuk dialog. Sebagai seorang filsuf, ia mendirikan sekolah filsafat bernama ‘akademia’. Beberapa karangannya yang terkenal adalah:
  • Nomoi yaitu tulisan yang berupa dialog jawaban atas bukunya ‘Politikos’ yang mengupas mengenai undang-undang, undang-undang hendaknya menjadi instansi yang tertinggi dalam suatu negara, dan undang-undang yang mana yang dianggap cocok berlaku dalam suatu negara.
  • Dialogues berbicara tentang pembuatan kerangka retorika yang dianggap benar, yaitu retorika yang ada hubungannya dengan kebenaran dan moral. Seorang orator hendaknya menyesuaikan retorika- nya dengan kemampuan pendengar.
3. Aristoteles. Dia mengatakan bahwa retorika sebagai filsafat, sedang tokoh yang lain menekankan sebagai seni. Menurut Aristoteles, tujuan retorika adalah membuktikan maksud pembicaraan atau menampakkan pembuktian. Ini terdapat pada logika. Keindahan bahasa hanya digunakan untuk membenarkan, memerintah, mendorong, dan memper-tahankan sesuatu. Aristoteles merupakan murid Plato yang paling cerdas. Pada usia 17 tahun, ia sudah mengajar di Akademi yang didirikan Plato. Ia menulis tiga jilid buku berjudul De Arte Rhetorica, yang diantaranya berisi lima tahap penyusunan suatu pidato. Tahapan itu dikenal dengan lima hukum retorika atau The five canons of rhetoric yang meliputi hal-hal sebagi berikut.

Inventio (penemuan)
Pada tahap ini pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Pembicara juga merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.

Dispositio (penyusunan)
Pada tahap ini pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Pesan dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan tersebut mengikuti kebiasaan berpikir manusia yang terdiri dari: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Bagi Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas, dan menjelaskan tujuan.

Elocutio (Gaya)
Tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk mengemas pesan. Ini dapat ditempuh dengan:
  • Menggunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima, 
  • Memilih kata-kata yang jelas dan langsung, 
  • Memakai kalimat yang indah, mulia, dan hidup, 
  • Menyesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pem- bicara.
Memoria (memori)
Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya.

Pronuntiatio (penyampaian)
Pada tahap ini, pembicara menyampai- kan pesannya secara lisan. Pembicara harus memperhatikan olah suara dan gerakan anggota badan.

4. Demosthenes. Pendapatnya adalah mengenai retorika dalam demokrasi. Ketika demokrasi menjadi sistem pemerintahan, di situ dengan sendirinya masyarakat memerlukan orang-orang yang mahir berbicara di depan umum. Penekanan retorika menurut Demosthenes adalah semangat yang berkobar- kobar, kecerdasan pikiran, lain dari yang lain. Ia adalah ahli pidato yang ulung dan ahli politik. Sebelum menjadi orator yang terkenal, ia mengalami tekanan batin yang berat dan rasa takut yang besar. Namun, berkat keta-bahan dalam latihan, ia dapat mengatasi segala kesulitannya itu. 

Demosthenes menjadi pemimpin partai yang anti Macedonia di Athena. Pada waktu itu, seluruh Yunani diajak memberontak terhadap Raja Philippus II dari Macedonia yang diserang dengan berbagai pidatonya ‘philippica’ yang berarti pidato serangan. Ia dapat dikalahkan kemudian lari ke Aegina dan tinggal di sana sampai Iskandar Zulkarnain meninggal dunia. Ia kemudian kembali ke Athena lagi dan melakukan pemberontakan, namun ia kalah juga. Akhirnya, ia bunuh diri dengan minum racun. Setelah bangsa Yunani dikuasai oleh bangsa Macedonia dan Romawi, berakhirlah masa kejayaan ilmu retorika Yunani. Retorika tinggal sebagai ilmu yang dipelajari di bangku-bangku sekolah.
 
5. Marcus Tulius Cicero dari Romawi. Cicero merupakan orator ulung pertama dari kalangan bangsa Romawi dengan bukunya berjudul “de orate”, mempunyai suara yang berat mengalun, pada suatu saat menggema, waktu lain halus merayu dan kadang-kadang pidatonya disertai cucuran air mata. Jika Cicero berpidato, ia telah benar-benar mempelajarinya baik tentang isi maupun cara membawakannya. Ia belajar dari orang-orang yang benar- benar berpengalaman di bidang tersebut. 

Buku yang ditulisnya memberi penekanan pada keindahan komposisi dan penyampaian, inti dari pidato harus mencerminkan kebenaran dan kesusilaan, seorang orator harus bisa meyakinkan pendengarnya. Untuk mencapai semua di atas, Cicero menyarankan bahwa seorang orator harus mencari bahan-bahan yang akan dibahas, menyusun dengan sistematis bahan-bahan itu, mencoba menghafal isinya, dan mengemukakan persoalan itu dengan baik.

Teknik yang digunakan Cicero biasa digunakan oleh orang-orang Yunani Kuno yaitu dialog dan drama. Cicero juga percaya bahwa efek pidato akan baik, jika orang yang berpidato orang yang baik juga. Pengalaman Cicero dalam bidang politik adalah ia pernah menjadi konsul dan mencegah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Catilina. Pada tahun 60 SM, ia bertentangan dengan tiga serangkai yaitu Pompeyus, Caesar, dan Crassus, yang menyebabkan dirinya dibuang. Ia akhirnya mendapat pengampunan dari Caesar. Sesudah Caesar meninggal, ia menentang Antonius. Karena tindakannya yang selalu menentang, ia akhirnya dibunuh. 

Pidato-pidatonya yang terpenting adalah In Verrem yaitu pidato yang ditujukan kepada Verres yang melakukan pemerasan, In Catilinam yakni pidato yang ditujukan pada Catilina dengan maksud untuk menentangnya, Philippica yaitu pidato yang diucapkan untuk menentang Antonius.

6. Plutarch (46-120 SM). Dia adalah seorang tokoh sejarah Romawi yang berpendapat bahwa pidato yang disampaikan harus me- yakinkan. Keadaan meyakinkan ini dapat dicapai dengan keyakinan pembicara, menguasai bahasanya, percaya akan diri sendiri, dan teknik bahasa yang digunakan merupa- kan peningkatan, aliterasi, mempunyai susunan kalimat yang baik.

7. Tacitus (55-116 sesudah masehi). Dia adalah pahlawan Romawi yang menduduki Inggris hingga sebagian Scotlandia. Tacitus menyatakan bahwa retorika akan hilang nilainya dengan berkurangnya demokrasi. Hal ini ia lihat dari bertambah buruknya situasi politik Romawi dibawah konsul Domitianus. Di ruang pengadilan dan senat, pembicara- pembicara yang berlainan pendapat dengan pihak penguasa dibunuh sehingga kejujuran dan retorika berkurang, bahkan lenyap. Yang tersisa adalah bersilat lidah demi kemenangan atau semakin bertambahnya pidato-pidato yang mengandung pujian, tetapi tidak mencerminkan kebenaran lagi. 

Tacitus memberi alternatif, ketika kemerdekaan berbicara dikuasai retorika palsu, maka lelucon dan syair menjadi tandingannya. Tacitus juga melukiskan kemungkinan bahaya retorika yang seperti itu adalah adanya pengaruh tanpa kecakapan atau pengetahuan, adanya pengaruh yang membenarkan yang salah. Perkembangan pemakaian jenis retorika tergantung zamannya, retorika kasar yang biasanya terdapat pada gerakan bawah tanah, retorika halus yang banyak terdapat di negara aman dan damai.


Semoga Bermanfaat...

Admin : Nurhayati Syamsiah, SS
Web Blog : Tau Kasiasi




Previous
Next Post »